Selasa, 04 Maret 2008

Pergaulan Bedi Jenis

Pergaulan Beda Jenis
M. Dian Nafi'


Islam datang ketika berbagai bangsa di muka bumi memekerjakan perempuan dan melucuti haknya sampai ke tingkatan yang sangat menyedihkan. Kaum perempuan tidak diperlakukan sebagaimana manusia. Bayangkan saja, bangsa Arab pada masa jahiliyah memberikan hak kepada anak untuk mewarisi istri ayahnya, sebagaimana mereka mewarisi peninggalan ayah termasuk ternak-ternaknya. Ini pun jika mereka diselamatkan oleh Allah sehingga tidak dikubur hidup-hidup ketika lahir.
Lain di Arab, lain pula di Yunani. Di Yunani, perempuan diperlakukan sebagai sarana hiburan, dapat diberikan, dan tugasnya mengurus kesehatan laki-laki. Mereka memperlakukan para istri sebagai pemberi pengesahan atas anak-anak mereka. Demikianlah yang dijelaskan oleh penulis risalah berjudul Al-Mar’ah Qabla wa Ba’dal-Islam.
Pakar tafsir terkemuka, Prof. M. Quraish Shihab, memberikan keterangan ringkas yang jauh lebih lengkap. Di dalam peradaban Romawi, seorang ayah berwenang untuk menjual, mengusir, menyiksa, dan membunuh anak perempuannya. Setelah kawin, kekuasaan itu berpindah ke tangan sang suami. Keadaan itu berlangsung terus sampai abad ke-16 Masehi. Segala hasil usaha perempuan menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki. Kaisar Konstantin membuat sedikit perubahan dengan diundangkannya hak kepemilikan terbatas bagi perempuan dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Dalam peradaban Hindu dan Cina, hak hidup seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Istri harus ikut dibakar hidup-hidup saat mayat suaminya dikremasi! Cara hidup itu baru berakhir pada abad ke-17 Masehi. Perempuan di India ketika itu sering pula dijadikan sesaji bagi apa yang mereka anggap sebagai dewa-dewa mereka.
Di dalam ajaran Yahudi, martabat perempuan setara dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak memiliki saudara laki-laki. Dalam ajaran mereka, perempuan dianggap sebagai sumber laknat, karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
Pandangan dan cara hidup itu berlanjut sampai pada abad ke-5 Masehi. Pada abad ini, diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah perempuan mempunyai roh atau tidak. Akhirnya, ternyata disimpulkan bahwa perempuan tidak mempunyai roh yang suci. Bahkan, pada abad ke-6 Masehi diselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah perempuan itu manusia atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki! Jahat, banget, ya?
Di sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan masih tetap memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 perempuan Inggris belum memiliki hak kepemilikan harta benda secara penuh dan hak menuntut ke pengadilan.
Ketika Elizabeth Blackwell yang merupakan dokter perempuan pertama di dunia menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan, ketika sebagian dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk perempuan di Philadelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam akan memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.
Kenyataan itu jauh berbeda dengan ajaran Islam tentang perempuan sejak tahun 611. Dari hadis-hadis yang dikutip di buku ini saja sudah terlihat kesetaraan laki-laki dan perempuan baik dalam bidang kemasyarakatan, keilmuan, dan agama. Belum lagi jika kita mendalami ajaran Islam ini lebih lengkap.
Prinsip pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam ajaran Islam bermula dari surah An-Nisa’ ayat 1.

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliha-ralah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS An-Nisa’: 1)

Laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah sama-sama sebagai pemikul tugas kekhalifahan di muka bumi. Untuk melaksanakan tugas itu, Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan dari unsur yang sama (ada penafsiran bahwa ”dari keduanya” ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang darinya Adam a.s. diciptakan).
Penyamaan “nafs” (diri yang satu) dengan Adam a.s. memberikan pemahaman bahwa tanpa Adam tidak ada Hawa. Tanpa laki-laki maka tidak ada perempuan. Oleh Prof. M. Quraish Shihab, pandangan ini dinilai negatif.

Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam penciptaannya menghapus sangkaan orang bahwa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan direstui oleh Al-Qur’an. Kenyataannya, pada masa Nabi Muhammad saw., banyak perempuan terhormat berperan dalam urusan-urusan umum, termasuk dalam jihad, pertempuran di laut, dan perawatan korban perang. Pada masa itu, sudah dijumpai perempuan terhormat yang bekerja sebagai perawat, perias, pendidik, pedagang, dan penyamak kulit binatang.

Dewasa ini, profesi yang perempuan bisa bekerja di dalamnya atau yang memerlukan peranan perempuan telah berkembang jauh lebih beragam, dibandingkan dengan ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup. Sepanjang suasana sopan dan terhormat dapat diciptakan maka tidak ada keberatan dari para ulama tentang perempuan yang bekerja. Demikian, uraian mufasir M. Quraish Shihab di dalam karyanya, Wawasan Al-Qur’an.

Untuk menjaga suasana itu, Imam Ghazali dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah, memberikan nasihat untuk membagi lingkup pergaulan ke dalam tiga lingkaran. Di semua lingkaran itu kita harus berbuat baik dan bermartabat. Di lingkup pertama terdapat orang-orang yang bersama kita di dunia dan di akhirat. Termasuk di sini adalah mahram kita, termasuk suami, istri, ayah, ibu, anak, dan saudara kandung. Kunci perlakuan di lingkaran ini adalah tolong-menolong secara duniawi dan ukhrawi.

Di lingkaran kedua, terdapat orang-orang yang bersama kita di dunia untuk urusan duniawi. Termasuk di dalam lingkaran ini adalah orang-orang yang bersama kita karena urusan pekerjaan atau mata pencaharian. Rambu-rambu perlakuan di lingkaran ini adalah jangan sampai berbuat merugikan, baik secara material maupun imaterial.

Dan di lingkaran ketiga, terdapat orang-orang yang suatu saat bersama kita tetapi tidak kita kenal. Di sinilah kita harus menjaga diri agar tidak dirugikan. Dan cara kita mewujudkan penjagaan diri itu tidak boleh menyinggung perasaan atau menampakkan kesan yang kurang baik kepada kita.

Termasuk perilaku yang merugikan adalah melibatkan orang lain dalam perbuatan yang tidak diridai Allah SWT, baik dengan ajakan maupun pengondisian, meskipun yang bersangkutan menginginkannya.
Demikianlah, maka Rasulullah saw. mengharamkan dua orang lain jenis bukan mahram bersepi-sepi karena hal ini membuka peluang bagi pelanggaran yang berat.

Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isra’: 32)

Kita juga dilarang untuk menggampangkan lamam. Lamam adalah pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh agama dan terjadi karena pergaulan hidup sehari-hari. Ibnu Mas’ud r.a. dikutip oleh Masruq dan Asy-Sya’bi, di dalam Tafsir Ibn Katsir, mengatakan bahwa “Zina mata adalah dengan melihat, zina bibir adalah dengan mencium, zina tangan dengan menyakiti, zina kaki dengan berjalan, dan selain itu adalah lamam.” Contoh lamam adalah melihat lawan jenis tanpa keperluan yang dibenarkan oleh agama. Yang tidak termasuk lamam adalah melihat lawan jenis bukan mahram untuk keperluan pendidikan, pengobatan, jual beli, dan pertolongan pada kecelakaan.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, di dalam karya beliau Fathul Bari, menerangkan bahwa berkunjung ke keluarga yang di situ bertemu dengan perempuan bukan mahram diperbolehkan untuk keperluan meminang (khithbah), meminta penjelasan mengenai agama, dan mengurus kemaslahatan manusia.

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS An-Nur: 30)

Pengarang kitab Durarul Hukkam, salah satu ulama dari mazhab Hanafi, tidak memasukkan orang-orang yang hadir di pengadilan dan berkepentingan atas pengadilan itu sebagai pelaku pelanggaran dalam hubungannya dengan pergaulan laki-laki dan perempuan bukan mahram. Imam Nawawi dalam Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, menyatakan hukum boleh (jawaz) mendengarkan suara perempuan bukan mahram untuk keperluan memperoleh fatwa agama.

Imam Malik di dalam kitab Al-Muwaththa’, memasukkan berboncengan laki-laki dan perempuan bukan mahram dalam satu kendaraan yang hanya bisa dimuati dua orang—dulu adalah unta, sekarang setara dengan sepeda dan sepeda motor—sebagai tindakan yang diharamkan, meskipun dilakukan dalam keramaian orang.
Semua tindakan yang melanggar itu lebih berat konsekuensinya saat yang bersangkutan menjalani puasa Ramadan, karena adanya dalil-dalil sahih yang menekankan penghormatan atasnya.

Apa Hikmahnya bagi Kita?
Adanya aturan-aturan dalam pergaulan beda jenis merupakan wujud penghargaan atas laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan khalifah Allah SWT di muka bumi.
Aturan seperti itu ternyata membuka peluang memadai dan terhormat kepada perempuan untuk bekerja di berbagai bidang untuk mengembangkan sisi kemanusiaannya.


Tips Penting!

a. Jika harus bertemu dengan rekan beda jenis kelamin, ajaklah mahram.
b. Fokuskan perhatian kepada kualitas kerja dan pencapaiannya dalam lingkup pergaulan beda jenis.
c. Laki-laki dan perempuan hendaknya meningkatkan kemandirian dalam mengelola urusan sehari-hari untuk mengurangi risiko ketergantungan kepada orang-orang bukan mahram.

Tidak ada komentar: